Karakteristik dan Tipelogi lahan
diindonesia
1. Tipe Lahan hutan sekunder
Istilah
Hutan Sekunder telah digunakan didalam nomenklatur ilmiah paling tidak sejak
tahun 1950-an (Richards 1955, Greigh-Smith 1952). Walaupun akhir-akhir ini
istilah tersebut semakin sering digunakan, namun istilah ini masih belum biasa
dipakai di banyak negara. Di negara-negara tersebut, hutan-hutan yang terdiri
dari jenis-jenis pohon lokal biasanya didefinisikan sebagai hutan atau hutan
alami, tanpa mempedulikan apakah hutan tersebut merupakan hutan primer, hutan
bekas tebangan, atau hutan hasil regenerasi. Karena itu, istilah hutan sekunder
dapat mempunyai arti yang sangat berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena
istilah ’hutan sekunder’, sebagai padanan dari istilah ’hutan primer’, menimbulkan
asosiasi-asosiasi langsung yang subyektif, yang sulit untuk dibuat
sistematikanya.
Definisi-definisi yang diberikan mengenai ”Hutan
Sekunder” dilihat dari ciri dan berbagai faktor pembentukannya adalah sebagai
berikut :
Hutan sekunder adalah fase pertumbuhan hutan dari keadaan tapak gundul, karena
alam ataupun antropogen, sampai menjadi klimaks kembali.
Tidak benar bahwa hutan sekunder tidak alami lagi, yang benar istilahnya adalah
“Hutan Alam Sekunder” untuk membedakannya dari hutan alam primer Sifat-sifat
hutan sekunder :
- Komposisi dan struktur tidak saja tergantung
tapak namun juga tergantung pada umur.
- Tegakan muda berkomposisi dan struktur lebih
seragam dibandingkan hutan aslinya.
- Tak berisi jenis niagawi. Jenis-jenis yang lunak
dan ringan, tidak awet, kurus, tidak laku.
- Persaingan ruangan dan sinar yang intensif sering
membuat batang bengkok. Jenis-jenis cepat gerowong.
- Riap
awal besar, lambat laun mengecil.
- Karena struktur, komposisi dan riapnya tidak akan
pernah stabil, sulit merencanakan pemasaran hasilnya.
Hutan-hutan sekunder “terbentuk sebagai suatu
konsekensi dari dampak manusia terhadap kawasan-kawasan hutan” Hutan-hutan yang
terbentuk sebagai suatu konsekensi dari pengaruh manusia, biasanya setelah
adanya kegiatan pertanian di areal-areal hutan yang ditebang-habis, tidak
termasuk disini. Dalam konteks ini, hutan-hutan sekunder merupakan suatu
komponen penting dari perladangan berpindah.
Suatu bentuk hutan dalam proses suksesi yang
mengkolonisasi areal-areal yang sebelumnya rusak akibat sebab-sebab alami atau
manusia, dan yang suksesinya tidak dipengaruhi oleh vegetasi asli disekitarnya
karena luasnya areal yang rusak. Bentuk-bentuk formasi vegetasi berikut ini
dapat terbentuk: lahan kosong / padang-padang rumput buatan / areal areal
bekas-tebangan baru / areal-areal bekas tebangan yang lebih tua.
Ciri-ciri utama dari hutan-hutan sekunder adalah
terjadinya interupsi dari penutupan hutan yang kontinyu, ketergantungan dari
luar dalam pembentukan hutan kembali, dan kenyataan bahwa ciri-ciri ini dapat
dikenali pada struktur dan/atau komposisi vegetasi hutan. Pendefinisian
hutan-hutan sekunder seperti biasanya adalah suatu masalah bagaimana menarik
garis batas didalam suatu selang/skala.
Hutan-hutan sekunder mencakup semua tahapan suksesi
yang terjadi pada areal-areal yang kosong akibat sebab-sebab alami atau
kegiatan manusia
Setelah adanya perubahan dari bentuk pemanfaatan lahan
yang terkait dengan pengurangan penutupan pohon dibawah 10% (penggundulan
hutan), hutan sekunder akan terbentuk apabila areal tersebut ditinggalkan tanpa
gangguan.
Didefinisikan sebagai vegetasi berkayu yang
berkembang/tumbuh diatas lahan yang ditinggalkan sebelumnya setelah vegetasi
aslinya dirusak akibat kegiatan manusia
Setelah hutan-hutan alam atau sisa-sisa hutan alam
terdegradasi akibat kegiatan tebang pilih atau pembalakan kayu yang tak
terkontrol, hutan-hutan sekunder berkembang dari benih pohon-pohon pionir,
coppice dari sisa-sisa (tunggul) pohon, atau melalui regenerasi jenis-jenis
pohon klimaks, selama proses tersebut tidak diganggu. Karena itu hutanhutan
yang terdegradasi dan hutan-hutan sekunder tidak dapat dibedakan secara jelas.
Hutan-hutan sekunder seringkali membentuk mosaik mosaik kecil dari komunitas
hutan serta fase-fase degradasi dan regenerasi yang sulit dipilah-pilah.
Hutan-hutan bekas tebangan yang kemudian dibiarkan
tanpa gangguan-gangguan dapat berkembang menjadi hutan sekunder.
Hutan-hutan sekunder yang berusia lebih dari 60-80
tahun diklasifikasikan sebagai hutan-hutan yang belum terjamah atau hutan-hutan
primer. Hutan-hutan sekunder atau hutan bera adalah sebuah mosaik dari
areal-areal yang digunakan untuk kegiatan pertanian, hutan-hutan yang belum
terjamah dan hutan-hutan dengan umur yang berbeda-beda, yang terdiri dari
komposisi vegetasi yang berkembang/tumbuh setelah adanya tebang-habis dari
formasi-formasi hutan tertutup atau terbuka.
Vegetasi yang mengkolonisasi areal-areal, dimana
sebagian atau seluruh vegetasi asli telah menghilang akibat gangguan-gangguan
alam atau manusia.
Contoh
gambar lahan sekunder
2.
Tipe
Lahan semak belukar
Lahan semak belukar adalah
kawasan lahan kering yang telah ditumbuhi berbagai vegetasi alami hetrogen dan
homogen yang tingkat kerapatanya jarang hingga rapat. Kawasan tersebut
didominasi vegetasi rendah (alami) semak belukar diindonesia biasanya berada di kawasan bekas hutan dan biasanya sudah tidak
menampakan lagi bekas atau bercak tebangan.
Lahan semak belukar banyak dijumpai didaerah bekas lahan berpindah
Contoh gambar lahan semak belukar :
3.
Tipe
lahan Padang rumput
Padang rumput adalah dataran tanpa pohon (kecuali yang berada di dekat sungai
atau danau) yang umumnya ditumbuhi rumput pendek.Padang rumput menjadi istilah
di kehutanan yang tidak asing meski terdapat berbagai macam kata yang berkaitan
dengan hutan. Padang rumput sendiri terletak di daerah yang memiliki musim
kering yang panjang dan musim penghujan yang pendek. Hal ini dapat dilihat di
kawasan Indonesia seperti Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Biasanya padang
rumput terletak di daerah yang memiliki ketinggian sekitar 900-4000m diatas
permukaan laut.
Padang
rumput ini terjadi secara alami disebabkan adanya cuaca yang mempengaruhi
rendahnya curah hujan. Curah hujan yang rendah mengakibatkan tumbuhan kesulitan
untuk menyerap air, sehingga tumbuhan yang dapat bertahan ialah rumput. Seperti
diketahui bahwa rumput dapat hidup dan beradaptasi dalam keadaan tanah yang
kering. Oleh karena itu tumbuhan rumput lebih banyak tumbuh dibandingkan dengan
tumbuhan yang lain.
Padang rumput membentang mulai dari daerah tropis sampai dengan daerah beriklim
sedang, seperti Hongaria, Rusia Selatan, Asia Tengah, Amerika Selatan,
Australia.
Savana merupakan padang rumput yang dipenuhi beberapa jenis pohon yang
menyebar, biasanya terletak di wilayah tropis dan subtropics.
Pengertian Pada habitat darat dikenal istilah
Bioma yaitu daerah habitat yang meliputi skala yang luas atau bisa juga
diartikan kumpulan species (terutama tumbuhan) yang mendiami tempat tertentu di
bumi yang dicirikan oleh vegetasi tertentu yang dominan dan langsung terlihat
jelas di tempat tersebut. Oleh karena itu biasanya bioma diberi nama
berdasarkan tumbuhan yang dominan di daerah tersebut salah satunya adalah
padang rumput.
Padang rumput terdiri atas steppa dan prairi. Steppa merupakan suatu wilayah
yang ditumbuhi rumput-rumputan pendek. Istilah steppa digunakan untuk
menyebutkan padang rumput di Eurasia. Adapun padang rumput tinggi di Amerika
Utara dinamakan prairi yang didominasi oleh jenis padang rumput Indian Grasses.
Di Argentina disebut pampa dan di Hongaria disebut puszta.
1.
Curah hujan
antara 25 - 50 cm/tahun, di beberapa daerah padang rumput curah hujannya dapat mencapai 100 cm/tahun.
2.
Curah hujan yang relatif rendah turun secara tidak
teratur.
- Turunnya
hujan yang tidak teratur tersebut menyebabkan porositas dan drainase
kurang baik sehingga tumbuh-tumbuhan sukar mengambil air.
- Daerah padang rumput yang relatif basah, seperti
di Amerika Utara, rumputnya mencapai 3 m, misalnya: rumput-rumput bluestem
dan India Grasses.
- Beberapa
jenis rumput mempunyai ketinggian hingga 3,5 m
- Memiliki
pohon yang khas, yaitu akasia
- Tanah pada
umumnya tidak mampu menyimpan air yang disebabkan oleh rendahnya tingkat
porositas tanah dan sistem penyaluran yang kurang baik sehingga
menyebabkan rumput-rumput tumbuh dengan subur.
- Daerah
padang rumput terbentang dari daerah tropika sampai ke daerah subtropika
Contoh
lahan padang rumput :
4. Tipe Lahan pasang surut
Lahan Pasang
Surut
Lahan pasang surut adalah lahan yang
pada musim penghujan (bulan desember-mei) permukaan air pada sawah akan
naik sehingga tidak dapat di tanami padi. Pada musim kemarau (bulan
juli-september) air permukaan akan surut yang mana pada saat itu tanaman padi
sawah baru dapat ditanam (pada lokasi yang berair).
(LIPI Kalimantan, 1994)
Dari luas lahan di Indonesia yang
keseluruhannya berjumlah 162.4 juta ha, sekitar 39.4 juta ha berupa lahan rawa
pasang surut (24.2 %) dan sekitar 123 juta ha adalah lahan kering (75 %).
Dalam keadaan alaminya lahan rawa
pasang surut letaknya terpencil dan tidak ada penduduk yang menggarapnya.
Pembukaan lahan rawa pasang surut dilakukan oleh Pemerintah terutama
disepanjang pesisir timur pulau Sumatra dan di Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Barat serta di bagian selatan Irian Jaya (sekarang Papua),
Potensi sumberdaya lahan rawa di 3 pulau utama , dalam 1.000
ha. (Kimpraswil, 2010)
Kandungan Tanah Lahan Pasang Surut.
Sifat tanah dan air pada lahan pasang surut ini adalah
a.
tanah sulfat masam dengan senyawa pirit
Pirit adalah zat yang hanya ditemukan di tanah di daerah pasang surut saja. Zat
ini dibentuk pada waktu lahan digenangi oleh air laut yang masuk pada musim
kemarau. pirit dapat berubah bentuk menjadi zat besi dan zat asam belerang yang
dapat meracuni tanaman. Ciri tanah yang telah teracuni pirit adalah :
·
Tampak gejala
keracunan besi pada tanaman
·
Ada lapisan seperti minyak di permukaan air
·
Ada lapisan merah di pinggiran saluran.
·
Tanaman mudah terserang penyakit
·
Hasil panen
rendah
·
Tanah berbau busuk (seperti telur yang busuk), maka
zat asam belerangnya banyak. Air di tanah tersebut harus dibuang dengan membuat
saluran cacing dan diganti dengan air baru dari air hujan atau saluran.
·
Bongkah tanah berbecak kuning jerami ditanggul saluran atau jalan, menunjukkan
adanya pirit yang berubah warna menjadi kuning setelah terkena udara.
b. Tanah gambut
c. Air
pasang besar dan kecil
d. Kedalaman air tanah
e. kemasaman air
yang menggenangi lahan.
Lahan pasang surut dibagi menjadi
beberapa golongan menurut tipe luapan air pasang, yaitu:
a.
Lahan terluapi oleh pasang besar (pada waktu bulan
purnama maupun bulan mati), maupun oleh pasang kecil (pada waktu bulan
separuh).
b.
Lahan terluapi oleh pasang besar saja.
c.
Lahan tidak terluapi oleh air pasang besar maupun
pasang kecil, namun permukaan air tanahnya cukup dangkal, yaitu kurang dari 50
cm.
d.
Lahan tidak terluapi oleh air pasang besar maupun
pasang kecil, namun permukaan air tanahnya dalam, lebih dari 50 cm.
Sistem Pengairan
Lahan Pasang Surut
Sistem pengairan
pada lahan pasang surut dapat dilakukan dengan berbagai cara :
a. Sistem irigasi dari
bawah ke atas (lowe to upper flow irrigation system)
Sistem ini
dilakukan dengan konstruksi bendung, canal dari soil (cement), sistem irirgasi
bawah ke atas dapat mengurangi pengaruh sedimen pada kanal dan sawah, karena
sistem ini dapat menghilangkan stagnasi tinggi pasang surut yang akhirnya
menghilangkan sedimentasi (Morgan, 1986).
Dari keadaan air
sungai yang permukaannya di bawah rata-rata permukaan tanah di tepi sungai maka
untuk mendapatkan air dari sungai tani diberika alternatif pompanisasi, sistem
pompanisasi ini membutuhkan pompa lebih dari satu untuk dipasang secara
paralel.
b.
Sistem Aliran Satu Arah
Pelaksanaan
sistem ini tergantung kepada kesepakatan pengaturan pintu-pintu air.
• Jika salah satu saluran tersier berfungsi sebagai saluran pemasukan (irigasi), maka saluran tersier disebelahnya
dijadikan saluran pengeluaran(drainase).
• Saluran pemasukan diberi pintu
air yang membukake dalam, sehingga pada waktu pasang air dapat masuk dan air
tidak dapat ke luar jika air surut.
• Saluran pengeluaran diberi
pintu air yang membuka ke luar, sehingga pada waktu air surut air dapat keluar
dan air tidak dapat masuk jika air sedang pasang.
• Saluran kuarter yang merupakan batas pemilikan perlu
ditata mengikuti aliran satu arah. Pada lahan yang bertipe luapan B, pintu flap
gate dilengkapi stop log yang difungsikan pada waktu air pasang kecil.
Contoh
gambar lahan pasang surut :
5. Tipe Lahan rawa lebak
Lahan rawa lebak adalah lahan yang pada periode
tertentu (minimal satu bulan) tergenang air dan rejim airnya dipengaruhi oleh
hujan, baik yang turun setempat maupun di daerah sekitarnya. Tanah mineral
memiliki tekstur liat dengan tingkat kesuburan alami sedang – tinggi dan pH 4 –
5 serta drainase terhambat – sedang. Setiap tahun, lahan lebak umumnya mendapat
endapan lumpur dari daerah diatasnya, sehingga walaupun kesuburan tanahnya
tergolong sedang, tetapi keragamannya sangat tinggi antar wilayah atau antar
lokasi.
Lahan rawa lebak terdapat cukup luas di Indonesia,
merupakan salah satu alternatif areal yang dapat dikembangkan untuk mengatasi
kebutuhan pangan yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah
penduduk dan meningkatnya alih fungsi lahan setiap tahun. Lahan rawa semakin
penting peranannya dalam upaya mempertahankan swasembada beras dan mencapai
swasembada bahan pangan lainnya, mengingat semakin menciutnya lahan subur di
Jawa akibat penggunaannya untuk perumahan dan keperluan non pertanian lainnya.
Lahan lebak yang berpotensi sebagai sawah lebak banyak dijumpai di seluruh
nusantara tersebar di pulau sumatera dan Kalimatan yang mempunyai banyak sungai
dan berpeluang baik untuk dikembangkan. Lahan lebak tersebut cukup subur bila
diolah dan dimanfaatkan dengan baik untuk pengembangan tanaman pangan,
hortikultura, peternakan dan perikanan.
Selain itu, beberapa wilayah lahan rawa lebak belakangan
ini mulai dikembangkan untuk tanaman perkebunan seperti kelapa sawit dan karet.
Pengembangan perkebunan ini memerlukan pembuatan saluran-saluran pengatusan
(drainage), pintu-pintu air, dan tabat (dam overflow) untuk pengendalian muka
air tanah. Dengan adanya sawah lebak ini, maka bisa meningkatkan pembangunan
pertanian. Contohnya, dengan pemanfaatan penanaman padi dapat memenuhi
kebutuhan pangan serta mendapatkan pendapatan.
Dalam pembangunan pertanian di Indonesia, ada empat
masalah dan tantangan serius yang dihadapi yaitu :
(1) berkurangnya lahan subur untuk usaha
pertanian,
(2) meningkatnya kebutuhan hasil pertanian
terutama khususnya beras,
(3) melandainya peningkatan produktivitas lahan sawah
akibat cekaman lingkungan dan pemanfaatan intensif dimasa lalu,
(4) makin berkurangnya minat generasi muda yang mau
bekerja di sektor pertanian.
Namun dilihat dari pengembangan Sawah/Lahan Rawa Lebak
itu sendiri, masalah utama pengembangan lahan lebak untuk usaha pertanian
adalah kondisi rejim airnya fluktuatif dan seringkali sulit diduga,
hidrotopografi lahannya beragam dan umumnya belum ditata baik, kebanjiran pada
musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau terutama di lahan lebak dangkal,
dan sebagian lahannya bertanah gambut. Dengan kondisi demikian, maka
pengembangan lahan lebak untuk usaha pertanian khususnya tanaman pangan dalam
skala luas memerlukan penataan lahan dan jaringan tata air serta penerapan
teknologi yang sesuai dengan kondisi wilayahnya agar diperoleh hasil yang
optimal.
Selain masalah lahan, pengembangan lahan lebak untuk
pertanian juga menghadapi berbagai kendala, diantaranya : kondisi sosial
ekonomi masyarakat serta kelembagaan dan prasarana pendukung yang umumnya belum
memadai atau bahkan belum ada. Hal ini terutama menyangkut kepemilikan lahan,
keterbatasan tenaga dan modal kerja serta kemampuan petani dalam memahami
karakteristik dan teknologi pengelolaan lahan lebak, penyediaan sarana
produksi, prasarana tata air dan perhubungan serta jalan usahatani, pasca panen
dan pemasaran hasil pertanian.
Berdasarkan tinggi dan lama genangan airnya, lahan
rawa lebak dibagi atas beberapa kelompok, diantaranya yaitu lahan rawa lebak
pematang.
Rawa Lebak Pematang
Lahan lebak pematang adalah lahan lebak yang tinggi
genangan airnya < 1 meter selama kurang dari 3 bulan. Lahan lebak pematang
umumnya mempunyai kesuburan tanah yang lebih baik, karena adanya pengkayaan
dari endapan lumpur yang terbawa luapan air sungai. Jenis tanah lahan lebak
biasanya adalah tanah mineral gambut. Tanah mineral bisa berasal dari endapan
sungai atau bisa berasal dari endapan marin, sedangkan tanah gambut dilapangan
bisa berupa lapisan gambut utuh atau lapisan gambut berselang seling dengan
lapisan tanah mineral. Tanah mineral memiliki tekstur liat dengan tingkat
kesuburan alami sedang – tinggi dan pH 4 – 5 serta drainase terhambat – sedang.
Setiap tahun, lahan lebak umumnya mendapat endapan lumpur dari daerah
diatasnya, sehingga walaupun kesuburan tanahnya tergolong sedang, tetapi
keragamannya sangat tinggi antar wilayah atau antar lokasi.
Pada musim kemarau muka air tanah di lahan rawa lebak
dangkal dapat mencapai > 1 meter sehingga lebih menyerupai lahan kering
(upland). Lahan rawa lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan curah
hujan antara 2.000-3.000 mm per tahun dengan 6-7 bulan basah (bulan basah =
bulan yang mempunyai curah hujan bulanan > 200 mm) atau antara 3-4 bulan
kering (bulan kering = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan <100 mm).
Bulan basah jatuh pada bulan Oktober/November sampai Maret/April, sedangkan
bulan kering jatuh antara bulan Juli sampai September (Noor, M. 2007).
Contoh lahan rawa lebak :
6. Tipe lahan gambut
Lahan gambut adalah lahan yang
memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan
50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa
tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan
miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa
belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk.
Pembentukan Lahan Gambut
Gambut terbentuk dari timbunan
sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan
terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob
dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat
perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik
yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi,
berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan
proses pedogenik (Hardjowigeno, 1986).
Proses pembentukan gambut
dimulai dari adanya danau dangkal yang secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman
air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati dan melapuk secara bertahap
membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut
dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman
berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan
secara membentuk lapisan-lapisan gambut sehingga danau tersebut menjadi penuh
(Gambar 1a dan 1b).
Bagian gambut yang tumbuh
mengisi danau dangkal tersebut disebut dengan gambut topogen karena proses
pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah cekungan. Gambut topogen
biasanya relatif subur (eutrofik) karena adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan
pada waktu tertentu, misalnya jika ada banjir besar, terjadi pengkayaan mineral
yang menambah kesuburan gambut tersebut. Tanaman tertentu masih dapat tumbuh
subur di atas gambut topogen. Hasil pelapukannya membentuk lapisan gambut baru
yang lama kelamaan memberntuk kubah (dome) gambut yang permukaannya cembung
(Gambar 1c). Gambut yang tumbuh di atas gambut topogen dikenal dengan gambut
ombrogen, yang pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut ombrogen lebih
rendah kesuburannya dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir tidak ada
pengkayaan mineral.
Contoh ganbar lahan
gambut :