Rabu, 28 Oktober 2015

Teknik Pembibitan Awal (Pre-Nursery) Kelapa Sawit

Teknik Pembibitan Awal (Pre-Nursery) Kelapa Sawit

Pembuatan Bedengan

Bedengan dibuat pada areal yang telah diratakan dengan ukuran lebar kurang lebih 1,2 m dan panjang kurang lebih 8 m setiap bedengan tepi bedengan dilengkapi dengan papan atau kayu setinggi kurang lebih 20 cm agar polibag dapat disusun tegak. Jarak antar bedengan 80 cm berfungsi sebagai jalan pemeliharaan, pengawasan, dan pembuangan air yang berlebihan saat penyiraman atau waktu hujan. Bedengan ukuran 1,2 x 8 cm dapat menampung 1.000 bibit. Untuk 15.000 kecambah atau 75 ha tanaman dilapangan diperlukan areal pembibitan awal seluas kurang lebih 250 m persegi atau kurang lebih 15 bedengan. Bagian dasar bedengan dibuat lebih tinggi dari permukaan untuk memperlancar drinase.

Naungan

Naungan di pembibitan awal berfungsi untuk mencegah bibit kelapa sawit terhadap sinar matahari secara langsung. Selain itu, naungan juga berfungsi untuk menghindari terbongkarnya tanah dipolibag akibat terpaan air hujan. Dalam pembuatan naungan perlu diatur intensitas penerimaan cahaya matahari yang masuk. Pengaturan naungan di pembibitan awal umur 0 - 1,5 bulan naungan 100%, umur 1,5 - 2,5 bulan naungan 50%, dan > 2,5 bulan naungan dihilangkan secara bertahap.

Penanaman Kecambah

Kecambah kelapa sawit yang telah diterima diusahakan segera ditanam pada polibag yang telah disediakan. Keterlambatan penanaman akan mengakibatkan kerusakan atau kelainan pada kecambah tersebut, antara lain: 
1). Bakal akar dan daun akan menjadi panjang sehingga mempersulit penanaman
2). Bakal akar dan daun akan mudah patah
3). Kecambah akan mengalami kerusakan karena terserang jamur
4). Kecambah akan menjadi mati/kering karena kekurangan air.

Close
Kecambah yang ditanami adalah kecambah yang telah dapat dibedakan antara bakal daun dan bakal akar. Bakal daun (plumula) ditandai dengan bentuk yang agak menjamin dan berwarna kuning muda, sedangkan bakal akar (radikula) berbentuk agak tumpul dan berwarna lebih kuning dari bakal daun.

Pada waktu penanaman harus diperhatikan posisi dan arah kecambah, plumula menghadap keatas dan radikula menghadap kebawah. Kecambah yang belum jelas bakal akar dan daunnya dikembalikan kedalam kantong plastik dan disimpan dalam kondisi lembab selama beberapa hari untuk bisa ditanam. Kesalahan-kesalahan dalam penanaman akan dapat menimbulkan kelainan pada bibit. Kelainan yang terjadi pada bibit antara lain:
1). Bibit yang berputar karena penanaman radikula menghadap keatas.
2). Akar bibit terbongkar karena penanaman yang terlalu dangkal.
3). Bibit menguning karena media terlalu banyak mengandung pasir.
4). Bibit mati (busuk) karena tergenang air penyiraman atau air hujan.

Trust Rating
Not Yet Rated
duniakebun.blogspot.co.id
Close

Karakteristik dan Tipelogi lahan diindonesia



Karakteristik dan Tipelogi lahan diindonesia
1.      Tipe Lahan hutan sekunder
Istilah Hutan Sekunder telah digunakan didalam nomenklatur ilmiah paling tidak sejak tahun 1950-an (Richards 1955, Greigh-Smith 1952). Walaupun akhir-akhir ini istilah tersebut semakin sering digunakan, namun istilah ini masih belum biasa dipakai di banyak negara. Di negara-negara tersebut, hutan-hutan yang terdiri dari jenis-jenis pohon lokal biasanya didefinisikan sebagai hutan atau hutan alami, tanpa mempedulikan apakah hutan tersebut merupakan hutan primer, hutan bekas tebangan, atau hutan hasil regenerasi. Karena itu, istilah hutan sekunder dapat mempunyai arti yang sangat berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena istilah ’hutan sekunder’, sebagai padanan dari istilah ’hutan primer’, menimbulkan asosiasi-asosiasi langsung yang subyektif, yang sulit untuk dibuat sistematikanya.
Definisi-definisi yang diberikan mengenai ”Hutan Sekunder” dilihat dari ciri dan berbagai faktor pembentukannya adalah sebagai berikut :

  • Lamprecht (1986)

Hutan sekunder adalah fase pertumbuhan hutan dari keadaan tapak gundul, karena alam ataupun antropogen, sampai menjadi klimaks kembali.

Tidak benar bahwa hutan sekunder tidak alami lagi, yang benar istilahnya adalah “Hutan Alam Sekunder” untuk membedakannya dari hutan alam primer Sifat-sifat hutan sekunder :
  1. Komposisi dan struktur tidak saja tergantung tapak namun juga tergantung pada umur.
  2. Tegakan muda berkomposisi dan struktur lebih seragam dibandingkan hutan aslinya.
  3. Tak berisi jenis niagawi. Jenis-jenis yang lunak dan ringan, tidak awet, kurus, tidak laku.
  4. Persaingan ruangan dan sinar yang intensif sering membuat batang bengkok. Jenis-jenis cepat gerowong.
  5. Riap awal besar, lambat laun mengecil.
  6. Karena struktur, komposisi dan riapnya tidak akan pernah stabil, sulit merencanakan pemasaran hasilnya.
  • Brown & Lugo (1990)
Hutan-hutan sekunder “terbentuk sebagai suatu konsekensi dari dampak manusia terhadap kawasan-kawasan hutan” Hutan-hutan yang terbentuk sebagai suatu konsekensi dari pengaruh manusia, biasanya setelah adanya kegiatan pertanian di areal-areal hutan yang ditebang-habis, tidak termasuk disini. Dalam konteks ini, hutan-hutan sekunder merupakan suatu komponen penting dari perladangan berpindah.
  • Catterson (1994)
Suatu bentuk hutan dalam proses suksesi yang mengkolonisasi areal-areal yang sebelumnya rusak akibat sebab-sebab alami atau manusia, dan yang suksesinya tidak dipengaruhi oleh vegetasi asli disekitarnya karena luasnya areal yang rusak. Bentuk-bentuk formasi vegetasi berikut ini dapat terbentuk: lahan kosong / padang-padang rumput buatan / areal areal bekas-tebangan baru / areal-areal bekas tebangan yang lebih tua.
  • Corlett (1994)
Ciri-ciri utama dari hutan-hutan sekunder adalah terjadinya interupsi dari penutupan hutan yang kontinyu, ketergantungan dari luar dalam pembentukan hutan kembali, dan kenyataan bahwa ciri-ciri ini dapat dikenali pada struktur dan/atau komposisi vegetasi hutan. Pendefinisian hutan-hutan sekunder seperti biasanya adalah suatu masalah bagaimana menarik garis batas didalam suatu selang/skala.
  • Parlemen Jerman (1990)
Hutan-hutan sekunder mencakup semua tahapan suksesi yang terjadi pada areal-areal yang kosong akibat sebab-sebab alami atau kegiatan manusia
  • FAO (1993)
Setelah adanya perubahan dari bentuk pemanfaatan lahan yang terkait dengan pengurangan penutupan pohon dibawah 10% (penggundulan hutan), hutan sekunder akan terbentuk apabila areal tersebut ditinggalkan tanpa gangguan.
  • Finegan (1992)
Didefinisikan sebagai vegetasi berkayu yang berkembang/tumbuh diatas lahan yang ditinggalkan sebelumnya setelah vegetasi aslinya dirusak akibat kegiatan manusia
  • Huss (1996)
Setelah hutan-hutan alam atau sisa-sisa hutan alam terdegradasi akibat kegiatan tebang pilih atau pembalakan kayu yang tak terkontrol, hutan-hutan sekunder berkembang dari benih pohon-pohon pionir, coppice dari sisa-sisa (tunggul) pohon, atau melalui regenerasi jenis-jenis pohon klimaks, selama proses tersebut tidak diganggu. Karena itu hutanhutan yang terdegradasi dan hutan-hutan sekunder tidak dapat dibedakan secara jelas. Hutan-hutan sekunder seringkali membentuk mosaik mosaik kecil dari komunitas hutan serta fase-fase degradasi dan regenerasi yang sulit dipilah-pilah.
  • Kaffka (1990)
Hutan-hutan bekas tebangan yang kemudian dibiarkan tanpa gangguan-gangguan dapat berkembang menjadi hutan sekunder.
  • Lanly (1982)
Hutan-hutan sekunder yang berusia lebih dari 60-80 tahun diklasifikasikan sebagai hutan-hutan yang belum terjamah atau hutan-hutan primer. Hutan-hutan sekunder atau hutan bera adalah sebuah mosaik dari areal-areal yang digunakan untuk kegiatan pertanian, hutan-hutan yang belum terjamah dan hutan-hutan dengan umur yang berbeda-beda, yang terdiri dari komposisi vegetasi yang berkembang/tumbuh setelah adanya tebang-habis dari formasi-formasi hutan tertutup atau terbuka.
  • UNESCO (1978)
Vegetasi yang mengkolonisasi areal-areal, dimana sebagian atau seluruh vegetasi asli telah menghilang akibat gangguan-gangguan alam atau manusia.




Contoh gambar lahan sekunder





2.      Tipe Lahan semak belukar
Lahan semak belukar adalah kawasan lahan kering yang telah ditumbuhi berbagai vegetasi alami hetrogen dan homogen yang tingkat kerapatanya jarang hingga rapat. Kawasan tersebut didominasi vegetasi rendah (alami) semak belukar diindonesia biasanya berada di  kawasan bekas hutan dan biasanya sudah tidak menampakan lagi bekas atau bercak tebangan.  Lahan semak belukar banyak dijumpai didaerah bekas lahan berpindah

Contoh  gambar lahan semak belukar :




3.      Tipe lahan Padang rumput

Padang rumput adalah dataran tanpa pohon (kecuali yang berada di dekat sungai atau danau) yang umumnya ditumbuhi rumput pendek.Padang rumput menjadi istilah di kehutanan yang tidak asing meski terdapat berbagai macam kata yang berkaitan dengan hutan. Padang rumput sendiri terletak di daerah yang memiliki musim kering yang panjang dan musim penghujan yang pendek. Hal ini dapat dilihat di kawasan Indonesia seperti Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Biasanya padang rumput terletak di daerah yang memiliki ketinggian sekitar 900-4000m diatas permukaan laut.
Padang rumput ini terjadi secara alami disebabkan adanya cuaca yang mempengaruhi rendahnya curah hujan. Curah hujan yang rendah mengakibatkan tumbuhan kesulitan untuk menyerap air, sehingga tumbuhan yang dapat bertahan ialah rumput. Seperti diketahui bahwa rumput dapat hidup dan beradaptasi dalam keadaan tanah yang kering. Oleh karena itu tumbuhan rumput lebih banyak tumbuh dibandingkan dengan tumbuhan yang lain.
Padang rumput membentang mulai dari daerah tropis sampai dengan daerah beriklim sedang, seperti Hongaria, Rusia Selatan, Asia Tengah, Amerika Selatan, Australia.
Savana merupakan padang rumput yang dipenuhi beberapa jenis pohon yang menyebar, biasanya terletak di wilayah tropis dan subtropics.
 Pengertian Pada habitat darat dikenal istilah Bioma yaitu daerah habitat yang meliputi skala yang luas atau bisa juga diartikan kumpulan species (terutama tumbuhan) yang mendiami tempat tertentu di bumi yang dicirikan oleh vegetasi tertentu yang dominan dan langsung terlihat jelas di tempat tersebut. Oleh karena itu biasanya bioma diberi nama berdasarkan tumbuhan yang dominan di daerah tersebut salah satunya adalah padang rumput.
Padang rumput terdiri atas steppa dan prairi. Steppa merupakan suatu wilayah yang ditumbuhi rumput-rumputan pendek. Istilah steppa digunakan untuk menyebutkan padang rumput di Eurasia. Adapun padang rumput tinggi di Amerika Utara dinamakan prairi yang didominasi oleh jenis padang rumput Indian Grasses. Di Argentina disebut pampa dan di Hongaria disebut puszta.
  •   Ciri-ciri padang rumput
1.       Curah hujan antara 25 - 50 cm/tahun, di beberapa daerah padang rumput curah    hujannya dapat mencapai 100 cm/tahun.
2.      Curah hujan yang relatif rendah turun secara tidak teratur.
  1.  Turunnya hujan yang tidak teratur tersebut menyebabkan porositas dan drainase kurang baik sehingga tumbuh-tumbuhan sukar mengambil air.
  2. Daerah padang rumput yang relatif basah, seperti di Amerika Utara, rumputnya mencapai 3 m, misalnya: rumput-rumput bluestem dan India Grasses.
  3.  Beberapa jenis rumput mempunyai ketinggian hingga 3,5 m
  4.  Memiliki pohon yang khas, yaitu akasia
  5.  Tanah pada umumnya tidak mampu menyimpan air yang disebabkan oleh rendahnya tingkat porositas tanah dan sistem penyaluran yang kurang baik sehingga menyebabkan rumput-rumput tumbuh dengan subur.
  6.  Daerah padang rumput terbentang dari daerah tropika sampai ke daerah subtropika





Contoh lahan padang rumput :



4.      Tipe Lahan pasang surut
Lahan Pasang Surut
Lahan pasang surut adalah lahan yang pada  musim penghujan (bulan desember-mei) permukaan air pada sawah akan naik sehingga tidak dapat di tanami padi. Pada musim kemarau (bulan juli-september) air permukaan akan surut yang mana pada saat itu tanaman padi sawah baru dapat ditanam (pada lokasi yang berair).
(LIPI Kalimantan, 1994)
Dari luas lahan di Indonesia yang keseluruhannya berjumlah 162.4 juta ha, sekitar 39.4 juta ha berupa lahan rawa pasang surut (24.2 %) dan sekitar 123 juta ha adalah lahan kering (75 %).
Dalam keadaan alaminya lahan rawa pasang surut letaknya terpencil dan tidak ada penduduk yang menggarapnya. Pembukaan lahan rawa pasang surut dilakukan oleh Pemerintah terutama disepanjang pesisir timur pulau Sumatra dan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat serta di bagian selatan Irian Jaya (sekarang Papua),  Potensi sumberdaya lahan rawa di 3 pulau utama , dalam 1.000 ha. (Kimpraswil, 2010)
Kandungan Tanah Lahan Pasang Surut. Sifat tanah dan air pada lahan pasang surut ini adalah
a.       tanah sulfat masam dengan senyawa pirit
            Pirit adalah zat yang hanya ditemukan di tanah di daerah pasang surut saja. Zat ini dibentuk pada waktu lahan digenangi oleh air laut yang masuk pada musim kemarau. pirit dapat berubah bentuk menjadi zat besi dan zat asam belerang yang dapat meracuni tanaman. Ciri tanah yang telah teracuni pirit adalah :
·         Tampak gejala keracunan besi pada tanaman
·         Ada lapisan seperti minyak di permukaan air
·          Ada lapisan merah di pinggiran saluran.
·         Tanaman mudah terserang penyakit
·          Hasil panen rendah
·         Tanah berbau busuk (seperti telur yang busuk), maka zat asam belerangnya banyak. Air di tanah tersebut harus dibuang dengan membuat saluran cacing dan diganti dengan air baru dari air hujan atau saluran.
·         Bongkah tanah berbecak kuning jerami ditanggul saluran atau jalan, menunjukkan adanya pirit yang berubah warna menjadi kuning setelah terkena udara.
b.      Tanah gambut
c.       Air  pasang besar dan kecil
d.      Kedalaman air tanah
e.       kemasaman air yang menggenangi lahan.
Lahan pasang surut dibagi menjadi beberapa golongan menurut tipe luapan air pasang, yaitu:
a.       Lahan terluapi oleh pasang besar (pada waktu bulan purnama maupun bulan mati), maupun oleh pasang kecil (pada waktu bulan separuh).
b.      Lahan terluapi oleh pasang besar saja.
c.       Lahan tidak terluapi oleh air pasang besar maupun pasang kecil, namun permukaan air tanahnya cukup dangkal, yaitu kurang dari 50 cm.
d.      Lahan tidak terluapi oleh air pasang besar maupun pasang kecil, namun permukaan air tanahnya dalam, lebih dari 50 cm.

Sistem Pengairan Lahan Pasang Surut
       Sistem pengairan pada lahan pasang surut dapat dilakukan dengan berbagai cara :
a.      Sistem irigasi dari bawah ke atas (lowe to upper flow irrigation system)
       Sistem ini dilakukan dengan konstruksi bendung, canal dari soil (cement), sistem irirgasi bawah ke atas dapat mengurangi pengaruh sedimen pada kanal dan sawah, karena sistem ini dapat menghilangkan stagnasi tinggi pasang surut yang akhirnya menghilangkan sedimentasi (Morgan, 1986).
       Dari keadaan air sungai yang permukaannya di bawah rata-rata permukaan tanah di tepi sungai maka untuk mendapatkan air dari sungai tani diberika alternatif pompanisasi, sistem pompanisasi ini membutuhkan pompa lebih dari satu untuk dipasang secara paralel.

b.      Sistem Aliran Satu Arah
Pelaksanaan sistem ini tergantung kepada kesepakatan pengaturan pintu-pintu air.
• Jika salah satu saluran tersier berfungsi sebagai saluran pemasukan (irigasi), maka saluran tersier disebelahnya dijadikan saluran pengeluaran(drainase).
• Saluran pemasukan diberi pintu air yang membukake dalam, sehingga pada waktu pasang air dapat masuk dan air tidak dapat ke luar jika air surut.
• Saluran pengeluaran diberi pintu air yang membuka ke luar, sehingga pada waktu air surut air dapat keluar dan air tidak dapat masuk jika air sedang pasang.
• Saluran kuarter yang merupakan batas pemilikan perlu ditata mengikuti aliran satu arah. Pada lahan yang bertipe luapan B, pintu flap gate dilengkapi stop log yang difungsikan pada waktu air pasang kecil.

Contoh gambar lahan pasang surut :


                                              





5.      Tipe Lahan  rawa lebak
Lahan rawa lebak adalah lahan yang pada periode tertentu (minimal satu bulan) tergenang air dan rejim airnya dipengaruhi oleh hujan, baik yang turun setempat maupun di daerah sekitarnya. Tanah mineral memiliki tekstur liat dengan tingkat kesuburan alami sedang – tinggi dan pH 4 – 5 serta drainase terhambat – sedang. Setiap tahun, lahan lebak umumnya mendapat endapan lumpur dari daerah diatasnya, sehingga walaupun kesuburan tanahnya tergolong sedang, tetapi keragamannya sangat tinggi antar wilayah atau antar lokasi.
Lahan rawa lebak terdapat cukup luas di Indonesia, merupakan salah satu alternatif areal yang dapat dikembangkan untuk mengatasi kebutuhan pangan yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya alih fungsi lahan setiap tahun. Lahan rawa semakin penting peranannya dalam upaya mempertahankan swasembada beras dan mencapai swasembada bahan pangan lainnya, mengingat semakin menciutnya lahan subur di Jawa akibat penggunaannya untuk perumahan dan keperluan non pertanian lainnya. Lahan lebak yang berpotensi sebagai sawah lebak banyak dijumpai di seluruh nusantara tersebar di pulau sumatera dan Kalimatan yang mempunyai banyak sungai dan berpeluang baik untuk dikembangkan. Lahan lebak tersebut cukup subur bila diolah dan dimanfaatkan dengan baik untuk pengembangan tanaman pangan, hortikultura, peternakan dan perikanan.
Selain itu, beberapa wilayah lahan rawa lebak belakangan ini mulai dikembangkan untuk tanaman perkebunan seperti kelapa sawit dan karet. Pengembangan perkebunan ini memerlukan pembuatan saluran-saluran pengatusan (drainage), pintu-pintu air, dan tabat (dam overflow) untuk pengendalian muka air tanah. Dengan adanya sawah lebak ini, maka bisa meningkatkan pembangunan pertanian. Contohnya, dengan pemanfaatan penanaman padi dapat memenuhi kebutuhan pangan serta mendapatkan pendapatan.
Dalam pembangunan pertanian di Indonesia, ada empat masalah dan tantangan serius yang dihadapi yaitu :
(1)  berkurangnya lahan subur untuk usaha pertanian,
(2)  meningkatnya kebutuhan hasil pertanian terutama khususnya beras,
(3) melandainya peningkatan produktivitas lahan sawah akibat cekaman lingkungan dan pemanfaatan intensif dimasa lalu,
(4) makin berkurangnya minat generasi muda yang mau bekerja di sektor pertanian.
Namun dilihat dari pengembangan Sawah/Lahan Rawa Lebak itu sendiri, masalah utama pengembangan lahan lebak untuk usaha pertanian adalah kondisi rejim airnya fluktuatif dan seringkali sulit diduga, hidrotopografi lahannya beragam dan umumnya belum ditata baik, kebanjiran pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau terutama di lahan lebak dangkal, dan sebagian lahannya bertanah gambut. Dengan kondisi demikian, maka pengembangan lahan lebak untuk usaha pertanian khususnya tanaman pangan dalam skala luas memerlukan penataan lahan dan jaringan tata air serta penerapan teknologi yang sesuai dengan kondisi wilayahnya agar diperoleh hasil yang optimal.
Selain masalah lahan, pengembangan lahan lebak untuk pertanian juga menghadapi berbagai kendala, diantaranya : kondisi sosial ekonomi masyarakat serta kelembagaan dan prasarana pendukung yang umumnya belum memadai atau bahkan belum ada. Hal ini terutama menyangkut kepemilikan lahan, keterbatasan tenaga dan modal kerja serta kemampuan petani dalam memahami karakteristik dan teknologi pengelolaan lahan lebak, penyediaan sarana produksi, prasarana tata air dan perhubungan serta jalan usahatani, pasca panen dan pemasaran hasil pertanian.
Berdasarkan tinggi dan lama genangan airnya, lahan rawa lebak dibagi atas beberapa kelompok, diantaranya yaitu lahan rawa lebak pematang.
Rawa Lebak Pematang
Lahan lebak pematang adalah lahan lebak yang tinggi genangan airnya < 1 meter selama kurang dari 3 bulan. Lahan lebak pematang umumnya mempunyai kesuburan tanah yang lebih baik, karena adanya pengkayaan dari endapan lumpur yang terbawa luapan air sungai. Jenis tanah lahan lebak biasanya adalah tanah mineral gambut. Tanah mineral bisa berasal dari endapan sungai atau bisa berasal dari endapan marin, sedangkan tanah gambut dilapangan bisa berupa lapisan gambut utuh atau lapisan gambut berselang seling dengan lapisan tanah mineral. Tanah mineral memiliki tekstur liat dengan tingkat kesuburan alami sedang – tinggi dan pH 4 – 5 serta drainase terhambat – sedang. Setiap tahun, lahan lebak umumnya mendapat endapan lumpur dari daerah diatasnya, sehingga walaupun kesuburan tanahnya tergolong sedang, tetapi keragamannya sangat tinggi antar wilayah atau antar lokasi.
Pada musim kemarau muka air tanah di lahan rawa lebak dangkal dapat mencapai > 1 meter sehingga lebih menyerupai lahan kering (upland). Lahan rawa lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan curah hujan antara 2.000-3.000 mm per tahun dengan 6-7 bulan basah (bulan basah = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan > 200 mm) atau antara 3-4 bulan kering (bulan kering = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan <100 mm). Bulan basah jatuh pada bulan Oktober/November sampai Maret/April, sedangkan bulan kering jatuh antara bulan Juli sampai September (Noor, M. 2007).
Contoh lahan rawa lebak :

6.      Tipe lahan gambut
Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk.
Pembentukan Lahan Gambut
Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno, 1986).
Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya danau dangkal yang secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan secara membentuk lapisan-lapisan gambut sehingga danau tersebut menjadi penuh (Gambar 1a dan 1b).
Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut disebut dengan gambut topogen karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah cekungan. Gambut topogen biasanya relatif subur (eutrofik) karena adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika ada banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut tersebut. Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen. Hasil pelapukannya membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan memberntuk kubah (dome) gambut yang permukaannya cembung (Gambar 1c). Gambut yang tumbuh di atas gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen, yang pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut ombrogen lebih rendah kesuburannya dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir tidak ada pengkayaan mineral.














Contoh ganbar lahan gambut :