Mengapa Masyarakat Adat Dayak Lebih Menyukai Karet?
Masyarakat ADAT DAYAK Dan Tanaman Karet
Salah satu “revolusi” yang paling fenomenal dalam kehidupan pertanian masyarakat Dayak di Kutai Barat adalah perkebunan karet rakyat. Harus diakui tidak ada dalam sejarah pertanian masyarakat Dayak jenis tanaman yang sedemikian berkembang pesat luasan arealnya seperti tanaman Karet. Karet menjadi primadona dan menjadi tanaman yang begitu “merakyat”.
Tentunya, tanaman Karet tidak begitu saja diterima oleh penduduk asli yang sudah terbiasa dengan pola pertanian berladang “gilir-balik”
yang sudah dilakukan secara turun temurun antar generasi. Perlu waktu
puluhan tahun dan bukan hal yang mudah untuk sebuah proses meyakinkan
penduduk, yang memang tidak mudah menerima jenis tanaman introduksi yang
baru, apalagi ditambah dengan bekas luka trauma penipuan berkedok
proyek yang
pernah terjadi beberapa tahun lalu seperti ; proyek perkebunan pisang
Abaka dan baru-baru ini tahun 2006 proyek perkubunan Ginseng. Bahkan ada
perkebunan swasta yang mencoba untuk membuka perkebunan baru jenis
tanaman Kenaf dan sudah membuka tempat percontohan tanaman (demplot)
tanaman Kenaf di Mapai kecamatan Linggang Bigung namun sampai saat ini
tidak terdengar kabar beritanya.
Karet telah menopang kehidupan perokonomian sebagian besar masyarakat Dayak, 23 ribu KK tani (Kaltim Post, 2/5/2007 hal. 37) menggantungkan hidupnya dari tanaman ini. Kebun Karet layaknya seperti sebuah “bank” yang dapat diuangkan selama 15 sampai 20 tahun.
Karet
membuat geliat perekonomian di kampung-kampung menjadi lebih hidup
ditandai dengan munculnya pasar malam pada setiap minggunya pada
hari-hari tertentu seusai penjualan karet, yang umumnya dilakukan dua
kali dalam seminggu yaitu hari Sabtu dan Minggu.
Diperkirakan
pada tahun 2005 uang yang beredar dari hasil penjualan karet setiap
bulannya dimasyarakat sekitar Rp. 9,820 Miliar atau Rp 117,850 Miliar
pertahunnya (Kaltim Post, 2/5/2006, hlm. 37)
Dapat dikatakan bahwa Perkebunan karet rakyat merupakan salah satu penggerak roda ekonomi pembangunan yang nampaknya masih “dianaktirikan” ibarat sebuah “kendaraan ekonomi”, perkebunan karet rakyat adalah sebuah “sepeda tua” yang lamban dan tidak menarik, yang nota bene milik “wong cilik” dibandingkan dengan “si anak emas” (sektor pertambangan) ibarat “kendaraan BMW atau Mercy” yang dapat melaju dengan cepat dan “wah” (prestisus) milik kaum pemilik modal yang
pada kenyataanya banyak menimbulkan masalah sosial dan lingkungan.
Tulisan ini bukanlah untuk menunjukan sikap antipati terhadap sektor
pertambangan yang memang memberikan kontribusi terbesar dalam Pendapatan
Asli Daerah (PAD), namun haruslah diingat siapakah penyumbang terbesar “Pendapatan Asli Rakyat”? jawabnya adalah kebun karet.
Petani
karet di Kutai Barat dapat dikategorikan ke dalam petani karet Dayak
dan non-Dayak. Yang pertama berbasis ekonomi subsisten perladangan
tradisional, sedangkan yang kedua berbasis ekonomi tegalan dengan latar
belakang budaya petani di pulau Jawa. Komunitas petani karet Dayak
relatif lamban menerima perubahan sistem perkebunan karet yang
monokultur ini, sedangkan petani Jawa lebih cepat beradaptasi dengan
sistem perkebunan karet tersebut. Namun, dewasa ini petani Dayak
seakan-akan masuk
dalam eforia perkebunan karet yang nyaris menyebar di seluruh Kabupaten Kutai Barat. Petani Dayak memiliki sumber daya tanah yang relatif berlimpah, sementara petani karet yang non-Dayak sudah terbentuk dengan masalah keterbatasan lahan untuk perkebunan karetnya.
dalam eforia perkebunan karet yang nyaris menyebar di seluruh Kabupaten Kutai Barat. Petani Dayak memiliki sumber daya tanah yang relatif berlimpah, sementara petani karet yang non-Dayak sudah terbentuk dengan masalah keterbatasan lahan untuk perkebunan karetnya.
Walau
demikian, bagi petani Dayak perlu waspadai dengan lahan pertanian
ladang, karena kini lokasi lahan perladangan telah nyaris digunakan
untuk perkebunan karet. Sementara perkebunan karet belum seratus persen
menjamin ketahanan pangan bagi penduduk setempat. Jadi alternatif
tanaman produksi di luar karet berikut tanaman pangan di luar padi
ladang perlu diantisipasi serius oleh Pemerintah bersama masyarakat
petani di Kabupaten Kutai Barat.
2. Karet Bukan Yang Lain!
Ada
beberapa alasan yang dikemukakan petani ketika mereka ditanya mengapa
mereka memilih karet, dari hasil survey ada beberapa alasan yang
dikemukan petani, berikut adalah alasan yang dikemukan petani Gleo Asa,
Kecamatan Barong Tongkok;
Alasan Memilih Karet :
| |
Merupakan sumber pendapatan yang tetap;
| |
Tidak ada usaha lain selain karet;
| |
Karena melihat masyarakat lain yang tanam karet
kehidupannya lebih sejahtera;
| |
Karena harga karet, saya bisa mengimbangkan dengan
harga kebutuhan pokok saat ini;
| |
Karet adalah usaha yang mudah, harganya mahal;
| |
Tanaman usianya panjang sehingga menghasilkan uang yang panjang;
| |
Komoditi yang menjajikan dan bisa mengimbangi harga bahan pokok;
| |
Lebih cerah prospeknya;
| |
Bisa menjadi penghasilan tetap;
| |
Komoditi yang bisa diandalkan;
| |
Harga lebih baik dari komoditi lain;
| |
Karena dari hasil mencukupi kebutuhan;
| |
Lebih menguntungkan;
| |
Hanya karet yang ada harga;
| |
Harga menjajikan dan dapat penghasilan;
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar